Catalog Number | : | 9201003.34 |
Publication Number | : | 34520.1908 |
ISSN/ISBN | : | |
Publishing Frequency | : | Annualy |
Release Date | : | November 26, 2019 |
Language | : | Indonesian |
File Size | : | 8.58 MB |
Abstract
Meningkatnya kesadaran mengenai dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan ditengarai mulai muncul pada tahun 1960-an. Kesadaran tersebut memicu timbulnya kekhawatiran terhadap keberlangsungan pembangunan. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan indikator statistik yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Indikator statistik dimaksud harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh KomisiPembangunan Berkelanjutan PBB pada April 1995. Berdasarkan data dari Kantor Stasiun Geofisika Yogyakarta, pada tahun 2018, suhu udara tertinggi di D.I. Yogyakarta tercatat pada bulan Juni. Suhu udara pada bulan tersebut tercatat 31,6oC. Adapun suhu terendah terjadi di bulan Agustus dengan suhu 21,3oC. Pada tahun yang sama, kelembaban udara tertinggi terjadi dibulan November, dimana tingkat kelembaban udaranya tercatat sebesar 88,0 persen. Tahun 2018, juga ditandai sebagai tahun dengan hari hujan yang berlangsung cukup lama. Pada tahun tersebut terdapat 175 hari hujan yang terjadi di sepanjang tahun. Jumlah hari hujan terbanyak terdapat di bulan januari dengan 27 hari hujan. Sementara itu, jumlah curah hujan terbanyak terjadi di bulan November dengan curah hujan sebanyak 875 milimeter. Sebaliknya jumlah curah hujan terrendah terdapat di bulan Agustus, dengan curah hujan sebanyak 0 milimeter.Dari data PODES 2018, kejadian bencana alam yang banyak dialami oleh desa dan kelurahan di wilayah D.I. Yogyakarta adalah banjir. Dari 348 desa dan kelurahan di D.I. Yogyakarta, tercatat hampir separuh diantaranya, 49,09 persen, pernah mengalami kejadian bencana alam berupa banjir. Selanjutnya bencana yang banyak terjadi di D.I. Yogyakarta adalah bencana tanah longsor yang dialami oleh 26,71 persen desa/kelurahan di D.I. Yogyakarta. Selain itu, bencana angina putting beliung juga termasuk musibah yang banyak terjadi di D.I. Yogyakarta, dimana sebanyak 24,43 persen desa dan kelurahan pernah mengalami musibah ini sepanjang tahun 2015 - 2018.Semenjak tahun 2010, tingkat kepadatan penduduk di D.I. Yogyakarta telah menembus angka seribu penduduk per km2. Pada tahun 2018 tingkat kepadatan penduduk masih menunjukkan adanya peningkatan, dimana pada tahun tersebut tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini mencapai 1.194 jiwa per km2. Meningkatnya kepadatan penduduk di wilayah DIY perlu mendapat perhatian mengingat relatif sempitnya wilayah DIY dan kemungkinan pengembangan wilayah yang terbatas. Angka TPT D.I. Yogyakarta menunjukkan adanya fluktuasi dengan kecenderungan yang menurun. Pada periode Agustus 2011 – Februari 2018, angka TPT D.I. Yogyakarta berfluktuasi pada rentang antara 2 hingga dengan 4 persen. Sementara itu, TPT tertinggi tercatat pada Februari 2015 dan Agustus 2015, yang besarnya adalah 4,07 persen. Kontribusi lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan terhadap pembentukan PDRB D.I. Yogyakarta menunjukkan kecenderungan yang terus menurun dari tahun 2013 sampai dengan 2018. Pada tahun 2017, kontribusi lapangan usaha ini hanya sebesar 0,01 persen. Penurunan sumbangan sektorpertanian terhadap PDRB kembali turun di tahun 2018. Penurunannya bahkan telah menyentuh angka di bawah dua digit, yaitu sebesar 9,78 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran struktur perekonomian di D.I. Yogyakarta. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan kemiskinan (P2) pada periode Maret 2018 - Maret 2019 menunjukkan adanya penurunan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 2,07 pada Maret 2018 menjadi 1,74 pada Maret 2019. Kondisi tersebut menunjukkan adanya perbaikan tingkat konsumsi penduduk miskin yang semakin mendekati GK. Demikian pula halnya dengan Indeks keparahan kemiskinan yang juga mengalami penurunan. Indeks P2 turun dari 0,50 menjadi 0,38 pada periode Maret 2018 – Maret 2019. Penurunan indeks P2 mengindikasikan tingkat ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin yang semakin menyempit. Penurunan pada indeks P1 dan P2 yang mengikuti penurunan jumlah dan persentaase penduduk miskin menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan yang dilakukan telah berjalan dengan baik dan pada jaluryang tepat.